Bulan Ramadan biasanya dimanfaatkan para umat Islam untuk banyak beribadah guna memburu pahala yang berlipat ganda. Pada bulan suci ini biasanya beberapa pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menuai panen. Mereka yang panen tidak hanya UMKM di bidang makanan dan minuman saja, melainkan juga pelaku UMKM yang memproduksi barang-barang keperluan ibadah.
Kondisi seperti ini dirasakan Rianti (47), warga Jl Hamid Rusdi Timur, Kota Malang, yang memproduksi tasbih dari bahan daur ulang toples plastik. Awalnya, menjadi seorang pengrajin tasbih tidak pernah ada dalam benak Rianti. Kemahirannya membuat tasbih berawal ketika dia harus membatu ibunya sebagai perajin tasbih.
Sewaktu kecil, Rianti selalu membantu ibunya membuat tasbih dari bahan yang sama. Kegiatan itu terus ia lalui hingga ia lulus SD sekitar 1975. Waktu itu, ibunya yang sudah tua harus berhenti bekerja, sehingga ia harus meneruskan pekerjaan ibunya itu.
Bahkan, dengan tekun Rianti membuat dan merangkai bulir-bulir tasbih itu. Namun, suatu ketika, tepatnya 1984, ia sempat menghentikan pekerjaannya sebagai pengrajin tasbih hingga selama lima tahun. Waktu itu ia ingin bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan lebih. Karena itu, setelah berhenti dari pekerjaannya di luar rumah yaitu sebagai pembantu rumah tangga (PRT), akhirnya pada 1989 Rianti kembali menekuni pekerjaan lamanya sebagai pengrajin tasbih.
Ternyata tidak sulit bagi Rianti untuk kembali meneruskan usaha dari ’warisan’ orangtuanya itu. Dari tangan terampilnya, Rianti bisa membikin butiran tasbih yang berasal daur ulang toples palstik dan botol bekas rool on. Barang-barang yang terbuat dari plastik itu didapat Rianti dari toko barang bekas di sekitar rumahnya.
Prosesnya, toples plastik dicuci bersih kemudian dijemur hingga kering. Setelah kering, toples dimasukkan di wajan dan dipanasi dengan kompor hingga meleleh. Setelah toples meleleh, Rianti mulai mencampurkan pewarna minyak dan minyak goreng kemudian diaduk seperti mengaduk jenang atau dodol hingga rata.
Setelah adonannya seperti jenang barulah diangkat dan dicetak dengan pelepah pisang. Adonan itu dibiarkan hingga mengeras. ”Bahan adonan yang sudah mengeras itu kemudian dipanggang lagi sampai meleleh. “Untuk memanaskan yang kedua kali ini ia tanpa memakai wajan, tetapi langsung menggunakan kompor yang di atasnya diberi seng,” kata ibu empat orang putera ini.
Sewaktu bahan itu dilelehkan, Rianti mempersiapkan jeruji roda sepeda. Dengan jeruji ini, ia melilitkan bahan yang sudah leleh dan membuat butiran tasbih dengan tangan. “Untuk milihkan bahan kali ini, kami harus hati-hati. Kalau tidak hati-hati, bahan yang meleleh itu bisa jatuh ke kulit dan membekas,” kata Rianti sembari menunjukkan bekas luka bakarnya kepada Surya sewaktu membuat butiran tasbih.
Setelah butiran yang dicetak dengan jeruji keras dan kering, ia barulah melepasnya dengan cara dipanggang di kompor. Hanya saja, prosesnya kali ini cukup menghangatkannya saja agar butiran dapat diambil dari jeruji. Untuk membuat butiran tasbih ini Rianti tidak melakukannya setiap hari, tetapi seminggu sekali.
Setelah bahan dari butiran siap, Rianti merangkainya dengan menggunakan benang karung. Tasbih ukuran kecil, dia isi 33 butir, sedang ukuran besar dan panjang diisi 99 butir. Untuk membuat kesan indah pada tasbih rangkaiannya, Rianti menambahkan beberapa manik-manik di setiap butiran tasbih. Ini dilakukan untuk menghilangkan kesan monoton pada hasil kerajinannya.
Jasa Tetangga
Ternyata Rianti termasuk pengrajin yang peduli dengan tetangga. Saat ini ada tiga orang tetangganya yang ikut membantu merangkai butiran tasbih Rianti dengan upah Rp 1.100 per lusin tasbih. Begitu rangkaian tasbih yang dikerjakan tetangga selesai dan disetor, pekerjaan selanjutnya adalah membuat gombyok dari benang sepul. “Untuk gombyok ini biasanya saya membuat sendiri,” kata Rianti.
Setelah produksi tasbih sempurna, Rianti kemudian mengemasnya dengan satu pak berisi 12 unit tasbih (selusin). Sehari Rianti mampu memproduksi 10 pak tasbih.
Untuk pemasarannya, Rianti juga memanfaatkan jasa tetangga. Pelanggan tasbih Rianti tak hanya dari Malang, tetapi juga dari luar kota seperti Blitar, Surabaya, dan Probolinggo. Harganya relatif sangat murah. Tasbih ukuran kecil dijual Rp 8.000 setiap paknya, sedang ukuran besar Rp 15.000 per pak.
Memang harga jualnya bisa dibilang sangat murah, tetapi jika usaha ini ditekuni maka bisa juga menghasilkan untung yang lumayan yaitu Rp 1 juta setiap bulannya, dan pada bulan puasa bisa meningkat menjadi Rp 2 juta.
Sumber: surya.co.id