Bermodal Rp 100 ribu, kini Canai Mamak meraup pendapatan kotor hingga Rp 260 juta per bulan. Inilah lika-liku hidup Tommy, pemuda lajang pemilik Canai Mamak yang pernah menjadi nelayan dan petani nilam.
Waktu berbuka puasa belum tiba. Namun, café di tepi Jalan Teuku Umar, Banda Aceh, itu penuh sesak. Pengunjung tua muda duduk di kursi aneka warna menanti pelayanan mengantar makanan untuk berbuka puasa. Ada pula pengunjung yang asyik memelototi komputer jinjing yang terhubung dengan fasilitas internet gratis yang disediakan kafe itu.
Zamzami adalah otak dibalik kesuksesan itu. Ketika ditemui The Atjeh Post beberapa waktu lalu, pria lajang yang akrab dipanggil Tommy itu tampil sederhana. Mengenakan kaos oblong dipadu celana jeans biru dan sepatu sport, ia tak terlihat seperti seorang toke.
Jiwa bisnis Tommy tampaknya turun dari orang tuanya. Lelaki kelahiran Desa Bluek Gle Cut, Indra Jaya, Pidie ini sejak kecil sudah ikut orang tuanya berjualan di warung kopi. Ketika Tommy mulai masuk sekolah dasar, orang tuanya yang telah pindah ke Banda Aceh membeli sebuah toko yang dijadikan warung kopi.
Karena sibuk membantu orang tuanya berjualan, buah hati pasangan Ramli dan Bahariah ini terpaksa bolos sekolah karena harus membantu orang tua berjualan. Warung kopi orang tua Tommy kini telah diwariskan kepadanya. Tempatnya, ya di lokasi kafe Canai Mamak saat ini.
Saban hari waktu Tommy tersita di warung kopi. Ia pun terpaksa mengubur dalam-dalam cita-citanya menjadi pemain sepakbola terkenal karena tidak mendapat dukungan dari orang tuanya.
Setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Tehnik Menengah (STM) pada 1996, Tommy mengadu nasib ke Medan, Sumatera Utara. Di sana, lelaki kelahiran 1977 ini sempat menjadi nelayan di perairan lepas Gembion, Belawan.
Tak betah menjadi nelayan, beberapa bulan kemudian Tommy kembali ke Aceh. Kali ini, ia menjadi petani nilam di desa Gunong Geurutee, Aceh Jaya. Lagi-lagi Tommy tak betah berlama-lama di kaki gunung Geurutee.
Pada 1998, Tommy kembali ke Banda Aceh. Ia memilih berjualan martabak telur di sebuah gerobak dorong yang dibeli dari hasil memanen nilam. Untuk lokasi, ia mangkal di depan kedai kopi ayahnya.
Setahun kemudian, sang ayah meninggal dunia. Sejak itu, kehidupan Tommy berubah. Apalagi, ia harus menjadi tulang punggul keluarga sepeninggal ayahnya.
Tahun 2000, lelaki berkumis tipis nekat mengadu nasib ke negeri jiran, Malaysia, meninggalkan ibu dan tiga adik perempuannya. Kedai kopi milik almarhum sang ayah serta gerobak tempat ia berjualan akhirnya disewakan. Dari uang hasil sewa toko itulah ibu dan adiknya bertahan hidup.
Karena sibuk membantu orang tuanya berjualan, buah hati pasangan Ramli dan Bahariah ini terpaksa bolos sekolah karena harus membantu orang tua berjualan. Warung kopi orang tua Tommy kini telah diwariskan kepadanya. Tempatnya, ya di lokasi kafe Canai Mamak saat ini.
Saban hari waktu Tommy tersita di warung kopi. Ia pun terpaksa mengubur dalam-dalam cita-citanya menjadi pemain sepakbola terkenal karena tidak mendapat dukungan dari orang tuanya.
Setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Tehnik Menengah (STM) pada 1996, Tommy mengadu nasib ke Medan, Sumatera Utara. Di sana, lelaki kelahiran 1977 ini sempat menjadi nelayan di perairan lepas Gembion, Belawan.
Tak betah menjadi nelayan, beberapa bulan kemudian Tommy kembali ke Aceh. Kali ini, ia menjadi petani nilam di desa Gunong Geurutee, Aceh Jaya. Lagi-lagi Tommy tak betah berlama-lama di kaki gunung Geurutee.
Pada 1998, Tommy kembali ke Banda Aceh. Ia memilih berjualan martabak telur di sebuah gerobak dorong yang dibeli dari hasil memanen nilam. Untuk lokasi, ia mangkal di depan kedai kopi ayahnya.
Setahun kemudian, sang ayah meninggal dunia. Sejak itu, kehidupan Tommy berubah. Apalagi, ia harus menjadi tulang punggul keluarga sepeninggal ayahnya.
Tahun 2000, lelaki berkumis tipis nekat mengadu nasib ke negeri jiran, Malaysia, meninggalkan ibu dan tiga adik perempuannya. Kedai kopi milik almarhum sang ayah serta gerobak tempat ia berjualan akhirnya disewakan. Dari uang hasil sewa toko itulah ibu dan adiknya bertahan hidup.
Di Kuala Lumpur, Tommy gonta-ganti profesi: mulai dari buruh bangunan, jualan di kedai kelontong, jualan mie Aceh hingga bekerja di restauran Azirawatti Daman Sara Damai, milik warga Malaysia-Melayu.
Tsunami di akhir 2004 membawa Tommy kembali ke Aceh. Di luar negeri ia mendengar kabar kampungnya luluh lantah diterjang ombak laut yang mengganas. Tommy resah. Ia teringat nasib ibu dan tiga adik perempuannya. “Apalagi komunikasi lewat telepon saat itu susah sekali,” kata Tommy.
Tak ada jalan lain. Tommy memutuskan angkat kaki dari Kuala Lumpur dan pulang ke Aceh. “Alhamdulillah, keluarga selamat semua,” ujarnya.
Di Banda Aceh, Tommy tak punya pekerjaan tetap. Sementara, tabungan dari hasil kerjanya di Malaysia mulai habis. Di sisi lain, kebutuhan hidup mulai mendesak. Tommy pun putar otak. Akhirnya, ia memutuskan kembali menekuni usaha yang pernah digelutinya sebelum merantau ke Malaysia yaitu berjualan martabak telur dan roti cane.
Bermodal uang Rp 100 ribu, Tommy membeli tepung dan beberapa bumbu lain. Gerobak dorong yang sempat disewakan ke orang lain difungsikan kembali. Di gerobak itulah Tommy membuka usaha martabak yang dinamai Canai Mamak. Nama ini terinspirasi dari pengalamannya bekerja di Kuala Lumpur. “Di Kuala Lumpur, ada canai yang dibuat oleh seorang perempuan India muslim yang biasa dipanggil Mamak," kata Tommy.
Insting bisnis Tommy tak salah. Perlahan usahanya berkembang. Ia pun kembali mengfungsikan toko milik orang tuanya yang sempat disewakan ke orang lain. Pada 2007, ia kembali menyewa satu pintu toko di samping gerainya. Jadilah Canak Mamak menempati tiga pintu ruko yang didesaian dengan pernak-pernik ala Malaysia.
Tsunami di akhir 2004 membawa Tommy kembali ke Aceh. Di luar negeri ia mendengar kabar kampungnya luluh lantah diterjang ombak laut yang mengganas. Tommy resah. Ia teringat nasib ibu dan tiga adik perempuannya. “Apalagi komunikasi lewat telepon saat itu susah sekali,” kata Tommy.
Tak ada jalan lain. Tommy memutuskan angkat kaki dari Kuala Lumpur dan pulang ke Aceh. “Alhamdulillah, keluarga selamat semua,” ujarnya.
Di Banda Aceh, Tommy tak punya pekerjaan tetap. Sementara, tabungan dari hasil kerjanya di Malaysia mulai habis. Di sisi lain, kebutuhan hidup mulai mendesak. Tommy pun putar otak. Akhirnya, ia memutuskan kembali menekuni usaha yang pernah digelutinya sebelum merantau ke Malaysia yaitu berjualan martabak telur dan roti cane.
Bermodal uang Rp 100 ribu, Tommy membeli tepung dan beberapa bumbu lain. Gerobak dorong yang sempat disewakan ke orang lain difungsikan kembali. Di gerobak itulah Tommy membuka usaha martabak yang dinamai Canai Mamak. Nama ini terinspirasi dari pengalamannya bekerja di Kuala Lumpur. “Di Kuala Lumpur, ada canai yang dibuat oleh seorang perempuan India muslim yang biasa dipanggil Mamak," kata Tommy.
Insting bisnis Tommy tak salah. Perlahan usahanya berkembang. Ia pun kembali mengfungsikan toko milik orang tuanya yang sempat disewakan ke orang lain. Pada 2007, ia kembali menyewa satu pintu toko di samping gerainya. Jadilah Canak Mamak menempati tiga pintu ruko yang didesaian dengan pernak-pernik ala Malaysia.
Ada beragam jenis canai aneka rasa ditawarkan di Toko Canai Mamak, yakni Canai gula, canai coklat, canai serikaya, canai kosong kecil, canai kampung, dan canai durian yang hanya tersaji di musim durian.
Selain canai, juga ada roti kari ayam khas Kuala Lumpur, roti telur bawang, teh tarek, jus kacang hijau dan masih banyak lagi menu-menu yang menggugah selera. Soal harga jangan khawatir, cukup hanya dengan merogoh uang saku Rp 6000 per porsinya.
Kini, saban hari Tommy mampu meraup pendapatan kotor berkisar Rp 7 – 10 juta. “Pendapatan kotor per bulan sekitar Rp 250 juta – 260 juta,” ujarnya.
Usaha keras Tommy berbuah manis. Café Canai Mamak telah memuluskan hidupnya. Dari usahanya, kini Tommy mengendarai mobil Honda CR-V keluaran terbaru. Ia juga berencana merehab rumah orang tua dan membangun rumah terpisah untuk keluargannya sendiri. Lho, bukannya masih lajang? "Belum ada calon sih, baru sedang mencari," ungkapnya sembari tersenyum kecil.
Sumber: Atjehpost.com