ETIKA

Perjalanan ke Bali dalam rangka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Persatuan Perusahaan Penyelenggara Periklanan Indonesia (PPPI) tanggal 18 Februari lalu merupakan kunjungan pertama saya ke Bali. Tujuh tahun tinggal di Surabaya, saya belum pernah menyempatkan diri untuk berkunjung ke Bali. Padahal jarak-nya hanya 45 menit dari bandara Juanda. Waktu itu saya mendampingi bos salah satu media berita online besar dan bos salah satu bisnis percetakan besar di Aceh, yang diundang bersama 4 kontingen lainnya oleh PPPI untuk membicarakan kemungkinan pembentukan PPPI cabang Aceh dalam beberapa bulan mendatang.

Eksotika Bali yang sangat kencang berhembus membuat banyak orang terpikat. Salah seorang rekan perjalanan saya yang sebelumnya pernah ke Bali dan pernah mengenyam pendidikan di Amerika menyebutkan “Ke Bali itu tiga kali lebih mengasyikan dibandingkan ke luar negeri”. Seolah saat itu waktu dan tujuan yang sempurna untuk berlibur, saya bersama dua bos media tadi sengaja datang satu hari lebih awal untuk menyempatkan diri berkeliling sebelum mengikuti rapat kerja keesokannya.

Tepat pukul 18.00 WITA, kami tiba di Bandara Ngurah Rai, setelah sebelumnya sempat menunggu lama di Bandara Cengkareng karena tiket yang dipesan tidak langsung konecting dengan penerbangan berikutnya. Sungguh Bali, sebagaimana dibicarakan oleh orang-orang, memiliki daya tarik kuat dalam mendatangkan devisa Negara. Siapa sangka, bandaranya yang tak sebegitu besar dan terlihat kuno ini telah disinggahi oleh jutaan orang dari dalam dan luar negeri, bahkan beberapa diantara mereka adalah pengunjung setia. Tak sadar, ada euphoria yang terbesit ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di pintu keluar bandara, seperti ada sebuah kepuasan karena telah sampai di Bali. Ekspresi yang sama juga terlihat pada dua orang rekan saya tadi.

Sore itu, Kuta salah satu lokasi wisata yang lebih sering disebut Kute menjadi tempat tujuan pertama kami bermalam. Lebih kurang 30 menit perjalanan dari bandara Ngurah Rai, Kute pun sudah diterangi oleh cahaya lampu. Seolah tak ingin melewati momen, seusai membersihkan diri di kamar hotel kami langsung beranjak untuk mengintai tempat makan yang asyik sambil menghirup udara malam Kute, maklum perut juga sudah mulai keroncongan. Menyusuri jalan tempat kami menginap menuju ke jalan raya Kute, sajen atau sesajen yang kerap ditemui di jalan dan di depan rumah-rumah penduduk menjadi topic pembicaraan singkat malam itu. Tak lama kemudian suasana kota wisata mulai terasa, turis mancanegara mulai terlihat berlalu lalang seolah jumlahnya lebih banyak dibandingkan penduduk local, mungkin memang lebih banyak. Sesampai dipenghujung jalan, kami dihadang oleh beberapa wanita local yang menawarkan massage (pijat). What a nice welcome ala Kute, but thanks. Perjalanan dari Banda Aceh ke Bali memang melelahkan dan membuat badan pegal-pegal namun keingintahuan tentang seperti apa Kute mengalahkan rayuwan para wanita tadi.

Sampai di jalan raya Kute, food court menjadi persinggahan pertama malam itu setelah kompromi yang alot karena salah satu rekan perjalanan saya yang bersikeras untuk tidak mencicipi western food. Pelajaran pertamapun dimulai. Maksudnya? Sangking banyaknya menu yang ditampilkan pada papan nama sampai-sampai kami tidak tahu makanan apa yang dijual, ditambah lagi dengan tulisan-tulisan huruf Cina yang membingungkan. Hampir tak ada menu yang saya kenali sehingga saya berinisiatif menyusuri warung demi warung yang tertata membentuk letter U dan rekan yang lain pun mengikuti. Ternyata lebih parah, karena semua penjualan berteriak menawarkan berbagai macam menu sampai-sampai tak satu nama menu pun sampai ke telinga dengan jelas. Sangat tidak nyaman, itulah kesan saya setelah diteriaki nama menu sepanjang menyusuri warung. Sampai akhirnya berhenti ketika kami memutuskan untuk memesan dari salah satu warung. Dua hari kemudian, dengan alasan yang sama karena salah satu rekan anti dengan western food, kami kembali ke food court yang terletak di jalan raya Kute itu. Kali ini kami tidak menghampiri warung karena kapok dengan kejadian tempo lalu sehingga langsung mengambil tempat duduk di sebuah meja kosong yang tampaknya baru ditinggalkan oleh pelanggan lain karena masih belum dibersihkan. Begitu kami duduk, teriakan para penjualpun mulai terdengar tapi kali ini terasa aneh, karena penjual berteriak didepan warung masing-masing namun tidak ada yang menghampiri kami, bahkan hanya untuk membersihkan meja yang masih kotor. Sejenak hal ini menjadi semacam pertunjukan. Kami mulai menduga, oh begitukah cara kerjanya? Tak yakin kami pun berdiam beberapa saat untuk memastikan bahwa dugaan tersebut benar. Benarlah, karena ketika kami memilih untuk memesan dari salah satu warung terdekat riuh suara penjual yang menawarkan menu sontak berhenti dan mejapun dibersihkan. Aha, sebuah keunikan local dan etika dagang yang luar biasa.

Let’s say yang satu ini pelajaran kedua. Salah seorang rekan seperjalan saya tidak berhenti mengatakan “semua ada di Bali ini”, menyimpulkan observasinya tentang fasilitas wisata Bali yang begitu lengkap dan penduduk lokalnya yang melek pariwisata, seperti slogan “pemeulia jame adat geutanyo” yang sedang digadang-gadangkan oleh pemerintah kota Banda Aceh sekarang ini. Daya beli yang begitu tinggi menjadikan Bali sebagai lahan subur untuk berbisnis sehingga terbentuk pasar sempurna, dimana hampir tidak ada produk yang begitu dominan. Namun saya lebih senang menyebutnya sebagai pasar supportif. Bukan maksud saya untuk mengutarakan teori baru, hanya untuk memudahkan saya mengingat pelajaran berharga ini. Maksudnya, tidak ada usaha yang merasa terlalu besar dan enggan merangkul usaha kecil apalagi mengesampingkan adat istiadat lokal. Salah satu buktinya, di hotel mewah di tempat kami menginap pihak hotel mau menjadwalkan pertunjukan seni tari yang dibawakan oleh anak-anak usia belia yang masih belajar untuk menghibur tamu mereka, hampir tidak kita jumpai di tempat lain. Saya kira, satu-satunya konser The Final Frontier Iron Maiden dimana penyelenggara harus rela menyediakan stan untuk sajen/sembahyang adalah konser yang diselenggarakan di Bali.

Konsistensi aktivitas di Bali juga menjadi pelajaran yang menarik. Mengindikasikan sebuah dedikasi tinggi terhadap budaya dan pembangunan parawisata. Saya membayangkan seandainya saya adalah wisatawan mancanegara yang sedang berkunjung ke Aceh dan ingin menyaksikan Tari Saman atau Ranup Lampuan, betapa kecewanya saya karena tidak tahu harus menyaksikan dimana. Di Bali, semua sudah terjadwal dengan baik bahkan sampai dengan kebiasaan lainnya yang sudah menjadi rahasia umum. Sebagai intermezzo, hari minggu saya memutuskan untuk bangun pagi dan berharap bisa menyaksikan salah satunya kebiasaan wisatawan asing yang berjemur tanpa busana di pantai Kute seperti diinformasikan oleh beberapa media dan seorang rekan yang sudah pernah ke Bali. Setelah mengintari hampir seluruh sisi pantai Kute, saya tak melihat satupun wisatawan asing yang berjemur tanpa busana, ada yang berjemur tapi masih menggunakan bikini. Kepada seorang teman yang waktu itu menghubungi saya melalui ponsel, saya sempat mengatakan bahwa kebiasaan tersebut sudah tidak ada dan saya kira memang sudah tidak ada sampai seorang supir taxi yang saya tumpangi mengatakan kalau saya datang terlalu pagi.

Lain Kute, lain pula Ubud. Sepulang menyaksikan konser Iron Maiden di GWK, kami mampir untuk menikmati Jimbaran’s Seefood yang terkenal dan memutuskan untuk menginap di Ubud. Sampai di Ubud pukul dua dini hari suasana benar-benar sepi seolah bukan kota wisata, padahal Ubud di siang hari tak kalah ramai dibandingkan Kute. Parahnya lagi, delapan hotel yang kami tanyai semuanya full book. Oleh warga setempat, kami malah disarankan untuk menginap di kantor polisi karena pihak hotel enggan menerima tamu setelah larut malam. Akhirnya walaupun dengan penuh kecurigaan dari pihak hotel kami berhasil juga menginap di salah satu hotel di Ubud. Di siang hari, Pasar Ubud menjadi tujuan kami untuk mengisi penuh kantong oleh-oleh dengan berbagai kerajinan dan fashion khas Bali. Tidak seperti di Kute yang lebih transparan soal harga, berbelanja di Ubud membutuhkan negotiation skill tingkat tinggi karena harga barang bisa turun sampai dengan 20% dari harga yang ditawarkan. Tipnya, pakailah pakaian semi formal agar terlihat seperti supir atau guide yang sedang menemani tamu dan jangan terburu-buru dalam bertransaksi. Pantauan saya, beberapa tour and travel tidak memasukkan kegiatan shopping di Ubud dalam daftar layanan mereka, mungkin saja hal tersebut berhubungan.

However, saya cukup sepakat dengan celetukan salah seorang rekan perjalanan saya. Menurutnya, kekayaan alam wisata Bali biasa saja dibandingkan beberapa kekayaan alam wisata yang ada di Aceh, namun Bali memiliki konsep dan kemasan wisata yang sangat menarik. Bagi saya Bali lebih tepat sebagai tempat untuk belajar tentang etika, mulai dari etika berlalu lintas sampai dengan etika berpolitik yang kerap menjadi polemic di berbagai daerah di Indonesia. Dalam artian positif, Bali is no body’s land. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap adat istiadat setempat, wisatawan tidak menghadapi pertentangan dalam berekspresi, hampir tidak ada gesekan sosial akibat bercampurnya kebudayaan barat dan timur yang saling tarik-menarik. Semua pihak saling mendukung untuk kepentingan bersama dalam jangka panjang. Saya mengamati bahwa semua orang merasa sangat nyaman seolah sedang berada di kampung halaman dan semua menginginkan agar Bali tetap seperti itu. Seperti halnya tak ada tembok pembatas di pantai Sanur yang memisahkan antara wisatawan mancanegara dengan wisatawan local, namun seolah keduanya tahu untuk membagi wilayah.

Feel Free to Comment


Next Previous Home