Manfaat Motivasi
Motivasi hanya dapat diberikan kepada orang yang mampu untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, bagi orang yang tidak mampu mengerjakan pekerjaan tersebut tidak perlu dimotivasi atau percuma. Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Arep Ishak dan Tanjung Hendri mengemukakan bahwa Manfaat motivasi adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan (Andraeni, 2000:34).
Secara spesifik, Hasibuan (2007:97) mengatakan bahwa pemberian motivasi kepada para karyawan dapat bermanfaat untuk: 1) Mendorong gairah dan semangat kerja karyawan; 2) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan; 3) Meningkatkan produktivitas kerja karyawan; 4) Memperthankan loyalitas dan kestabilan kerja karyawan; dan 5) Meningkatkan kedisiplinan dan menrunkan tingkat absensi karyawan.
Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang mengerjakannya. Orang pun akan merasa dihargai/diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja lebih keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan hasil kerja yang diharapkan sesuai dengan target yang mereka tetapkan sendiri. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak membutuhkan terlalu banyak pengawasan dari atasan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja
Motivasi seorang pekerja untuk bekerja biasanya merupakan hal yang rumit, karena melibatkan faktor-faktor individu dan faktor-faktor organisasional. Menurut Kae E. Chung dan Leon C. Megginson, faktor individu dan organisasional tersebut adalah Faktor-faktor yang sifatnya individual adalah kebutuhan-kebutuhan (needs), tujuan-tujuan (goals), sikap (attitudes), dan kemampuan-kemampuan (abilities). Sedangkan faktor-faktor yang berasal dari organisasi meliputi pembayaran atau gaji (pay), keamanan pekerjaan (job security), sesama pekerja (co-workers), pengawasan (supervision), pujian (praises), dan pekerjaan itu sendiri (Gomez, 1999:181).
Pada umumnya dalam diri seorang pekerja ada dua hal yang penting dan dapat memberikan motivasi atau dorongan yaitu masalah compensation dan expectancy. Mengenai kompensasi, Mondy and Noe (Koesmono, 2005:169) mengemukakan bahwa Direct financial compensation consist of the pay that a person receives in the form of wages salaries, bonuses and commissions. Indirect financial compensation (benefits) includes all financial rewards that are not included direct compensation. Menurut pendapat Mondy and Noe, kompensasi keuangan ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Kompensasi langsung terdiri dari upah yang diterima seseorang dalam wujud gaji, komisi pengawas dan bonus. Kompensasi Keuangan tidak langsung (manfaat) meliputi semua penghargaan keuangan yang tidak termasuk kompensasi keuangan langsung). Kompensasi non keuangan terdiri dari kepuasan yang diterima oleh seseorang dari tugas, psikologi dan atau lingkungan phisik dimana seseorang bekerja.
Model Motivasi
Para pimpinan umumnya mempunyai berbagai pandangan tentang pendekatan dan model-model yang digunakan untuk memotivasi bawahannya. Model tersebut diantaranya:
1. Model Tradisional. Model Tradisional mengemukakan bahwa untuk memotivasi bawahan agar gairah bekerjanya meningkat dilakukan dengan sistern insentif yaitu memberikan insentif materiil kepada pegawai yang berprestasi baik. Semakin berprestasi maka semakin banyak balas jasa yang diterimanya. Dalam hal ini aspek yang sangat penting dari pekerjaan para manajer adalah membuat para pegawai dapat menjalankan pekerjaan mereka yang membosankan dan berulang-ulang dengan cara yang paling efisien. Di sinilah penelitian Fine and Motion Study oleh F. W. Taylor dapat digunakan untuk pemecahan permasalahan. Secara tradisional, para manajer mendorong atau memotivasi tenaga kerja dengan cara memberikan imbalan berupa gaji/upah yang makin meningkat. Artinya, apabila mereka rajin bekerja dan aktif, upahnya akan dinaikkan. Pandangan ini menganggap bahwa pada dasarnya para pegawai malas dan dapat didorong kembali hanya dengan imbalan keuangan.
2. Model Hubungan Manusiawi (Human relation model). Model Hubungan Manusia, mengemukakan bahwa untuk memotivasi bawahan supaya gairah bekerjanya meningkat, dilakukan dengan mengakui kebutuhan sosial mereka dan membuat mereka merasa berguna serta penting. Sebagai akibatnya pegawai mendapatkan beberapa kebebasan membuat keputusan dan kreativitas dalam melakukan pekerjaannya. Dengan memperhatikan kebutuhan materiil dan nonmateriil pegawai, maka motivasi bekerjanya akan meningkat pula. Model ini lebih menekankan dan menganggap penting adanya faktor kontak sosial yang dialami para pegawai dalam bekerja daripada faktor imbalan seperti dikemukakan model tradisional.
3. Model Sumber Daya Manusia (Human resources model). Model ini timbul sebagai kritik terhadap model hubungan manusiawi. Model Sumber Daya Manusia, mengemukakan bahwa pegawai dimotivasi oleh banyak faktor, bukan hanya uang/barang atau keinginan akan kepuasan saja, tetapi juga kebutuhan akan pencapaian dan pekerjaan yang berarti. Motivasi yang penting bagi pegawai menurut model adalah penggembangan tanggung jawab bersama untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara setiap anggota atau pegawai menyumbangkan sesuatu kepada organisasi sesuai dengan kepentingan dan kemampuan masing-masing. Menurut model ini pegawai cenderung memperoleh kepuasan dari prestasi kerjanya yang baik. Pegawai bukanlah berprestasi baik karena merasa puas, melainkan termotivasi oleh rasa tanggung jawab yang lebih luas untuk membuat keputusan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
1. Model Tradisional. Model Tradisional mengemukakan bahwa untuk memotivasi bawahan agar gairah bekerjanya meningkat dilakukan dengan sistern insentif yaitu memberikan insentif materiil kepada pegawai yang berprestasi baik. Semakin berprestasi maka semakin banyak balas jasa yang diterimanya. Dalam hal ini aspek yang sangat penting dari pekerjaan para manajer adalah membuat para pegawai dapat menjalankan pekerjaan mereka yang membosankan dan berulang-ulang dengan cara yang paling efisien. Di sinilah penelitian Fine and Motion Study oleh F. W. Taylor dapat digunakan untuk pemecahan permasalahan. Secara tradisional, para manajer mendorong atau memotivasi tenaga kerja dengan cara memberikan imbalan berupa gaji/upah yang makin meningkat. Artinya, apabila mereka rajin bekerja dan aktif, upahnya akan dinaikkan. Pandangan ini menganggap bahwa pada dasarnya para pegawai malas dan dapat didorong kembali hanya dengan imbalan keuangan.
2. Model Hubungan Manusiawi (Human relation model). Model Hubungan Manusia, mengemukakan bahwa untuk memotivasi bawahan supaya gairah bekerjanya meningkat, dilakukan dengan mengakui kebutuhan sosial mereka dan membuat mereka merasa berguna serta penting. Sebagai akibatnya pegawai mendapatkan beberapa kebebasan membuat keputusan dan kreativitas dalam melakukan pekerjaannya. Dengan memperhatikan kebutuhan materiil dan nonmateriil pegawai, maka motivasi bekerjanya akan meningkat pula. Model ini lebih menekankan dan menganggap penting adanya faktor kontak sosial yang dialami para pegawai dalam bekerja daripada faktor imbalan seperti dikemukakan model tradisional.
3. Model Sumber Daya Manusia (Human resources model). Model ini timbul sebagai kritik terhadap model hubungan manusiawi. Model Sumber Daya Manusia, mengemukakan bahwa pegawai dimotivasi oleh banyak faktor, bukan hanya uang/barang atau keinginan akan kepuasan saja, tetapi juga kebutuhan akan pencapaian dan pekerjaan yang berarti. Motivasi yang penting bagi pegawai menurut model adalah penggembangan tanggung jawab bersama untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara setiap anggota atau pegawai menyumbangkan sesuatu kepada organisasi sesuai dengan kepentingan dan kemampuan masing-masing. Menurut model ini pegawai cenderung memperoleh kepuasan dari prestasi kerjanya yang baik. Pegawai bukanlah berprestasi baik karena merasa puas, melainkan termotivasi oleh rasa tanggung jawab yang lebih luas untuk membuat keputusan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Karaktersitik Individu yang Termotivasi
David C. McClelland (dalam Mangkunegara, 2005:103) mengemukakan 6 (enam) karakteristik orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi, yaitu sebagai berikut: 1) Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi; 2) Berani mengambil dan memikul risiko; 3) Memiliki tujuan yang realistik; 4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan; 5) Memanfaatkan umpan balik yang konkret dalam semua kegiatan yang dilakukan; 6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan. Dengan demikian, karakteristik individu yang motif berprestasinya rendah dapat dikemukakan, antara lain: 1) Kurang memiliki tanggung jawab pribadi dalam mengerjakan suatu pekerjaan atau kegiatan; 2) Ragu-ragu dalam mengambil keputusan; 3) Tindakannya kurang terarah pada tujuan; 4) Bersikap apatis dan tidak memiliki keinginan dalam mengembangkan potensi diri; 5) Memiliki program kerja tetapi tidak didasarkan pada rencana dan tujuan yang realistik, serta lemah melaksanakannya.
Pegawai yang memiliki kriteria-kriteria yang tidak termotivasi dalam bekerja tentunya akan menghambat pencapaian tujuan, baik tujuan pribadi maupun tujuan perusahaan. Pegawai tersebut perlu diberikan treatment sehingga memanfaatkan potensinya dengan sebaik mungkin.
Dirgagunarsa (dalam Sobur, 2003) mengeumukakan bahwa tingkah laku bermotivasi dapat dirumuskan sebagai tingkah laku yang dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian suatu tujuan, agar suatu kebutuhan terpenuhi dan suatu kehendak terpuaskan. Dalam perumusan tersebut, ada beberapa unsur yang membentuk lingkaran motivasi (motivational cycle) yaitu, kebutuhan, tujuan dan tingkah laku sebagaimana dikemukakan pada gambar berikut ini.
1. Kebutuhan. Hampir semua ahli kegunaan dan kepuasan merekomendasikan sebuah konsep sentral dalam psikologi, yakni kebutuhan sebagai titik tolak analisis. Namun, persepsi dan pendapat mereka tentang perumusan kebutuhan tidaklah sama. Dari sudut pandang psikologis, Musthafa Fahmi (dalam Sobur, 2003) menjelaskan bahwa Kebutuhan adalah suatu istilah yang digunakan secara sederhana untuk menunjukkan suatu pikiran atau konsep yang menunjuk pada tingkah laku makhluk hidup dalam perubahan dan perbaikan yang tergantung atas tunduk dan dihadapkannya pada proses pemilihan. McQuail, Blumler, dan Brown (dalam Sobur, 2003) berpendapat bahwa kebutuhan berasal dari pengalaman sosial dan bahwa media massa sekalipun kadang-kadang dapat membantu membangkitkan khalayak ramai mengenai suatu kesadaran akan kebutuhan tertentu yang berhubungan dengan situasi sosialnya. Pada akhirnya, kedua penulis ini mengakui bahwa mereka kehilangan kata-kata untuk menjelaskan apa sebenarnya kebutuhan itu. Secara tidak langsung, mereka tunduk pada konsep kebutuhan yang berlandaskan pada teori psikologi mengenai motivasi seperti pendekatan aktualisasi diri yang dikemukakan oleh Abraham Maslow.
2. Tingkah Laku. Unsur kedua dari lingkaran motivasi adalah tingkah laku yang dipergunakan sebagai cara atau alat agar suatu tujuan bisa tercapai. Jadi, tingkah laku pada dasarnya ditujukan untuk mencapai tujuan. Leavitt (dalam Sobur, 2003) mengemukakan tiga asumsi penting yang terkandung dalam tingkah laku, yaitu: Pertama, pandangan tentang sebab-akibat (causality), yaitu pendapat bahwa tingkah laku manusia itu ada sebabnya, sebagaimana tingkah laku benda-benda alam yang disebabkan oleh kekuatan yang bergerak pada benda-benda alam tersebut. Kedua, pandangan tentang arah atau tujuan (directedness), yaitu bahwa tingkah laku manusia tidak hanya disebabkan oleh sesuatu, tetapi juga menuju ke arah sesuatu, atau mengarah pada suatu tujuan, atau bahwa manusia pada hakikatnya ingin menuju sesuatu. Ketiga, konsep tentang motivasi (motivation), yang melatarbelakangi tingkah laku, yang dikenal juga sebagai suatu desakan atau keinginan (want) atau kebutuhan (need) atau suatu dorongan (drive).
3. Tujuan. Unsur ketiga dari lingkaran motivasi adalah tujuan yang berfungsi untuk memotivasikan tingkah laku. Tujuan juga menentukan seberapa aktif individu akan bertingkah laku. Sebab, selain ditentukan oleh motif dasar, tingkah laku juga ditentukan oleh keadaan dari tujuan. Jika tujuannya menarik, individu akan lebih aktif bertingkah laku. Pada dasarnya, tingkah laku manusia itu bersifat majemuk karena itu tujuan tingkah laku acap kali tidak hanya satu, yaitu tujuan pokok (primary goal) dan tujuan sekunder (secondary goal).
1. Kebutuhan. Hampir semua ahli kegunaan dan kepuasan merekomendasikan sebuah konsep sentral dalam psikologi, yakni kebutuhan sebagai titik tolak analisis. Namun, persepsi dan pendapat mereka tentang perumusan kebutuhan tidaklah sama. Dari sudut pandang psikologis, Musthafa Fahmi (dalam Sobur, 2003) menjelaskan bahwa Kebutuhan adalah suatu istilah yang digunakan secara sederhana untuk menunjukkan suatu pikiran atau konsep yang menunjuk pada tingkah laku makhluk hidup dalam perubahan dan perbaikan yang tergantung atas tunduk dan dihadapkannya pada proses pemilihan. McQuail, Blumler, dan Brown (dalam Sobur, 2003) berpendapat bahwa kebutuhan berasal dari pengalaman sosial dan bahwa media massa sekalipun kadang-kadang dapat membantu membangkitkan khalayak ramai mengenai suatu kesadaran akan kebutuhan tertentu yang berhubungan dengan situasi sosialnya. Pada akhirnya, kedua penulis ini mengakui bahwa mereka kehilangan kata-kata untuk menjelaskan apa sebenarnya kebutuhan itu. Secara tidak langsung, mereka tunduk pada konsep kebutuhan yang berlandaskan pada teori psikologi mengenai motivasi seperti pendekatan aktualisasi diri yang dikemukakan oleh Abraham Maslow.
2. Tingkah Laku. Unsur kedua dari lingkaran motivasi adalah tingkah laku yang dipergunakan sebagai cara atau alat agar suatu tujuan bisa tercapai. Jadi, tingkah laku pada dasarnya ditujukan untuk mencapai tujuan. Leavitt (dalam Sobur, 2003) mengemukakan tiga asumsi penting yang terkandung dalam tingkah laku, yaitu: Pertama, pandangan tentang sebab-akibat (causality), yaitu pendapat bahwa tingkah laku manusia itu ada sebabnya, sebagaimana tingkah laku benda-benda alam yang disebabkan oleh kekuatan yang bergerak pada benda-benda alam tersebut. Kedua, pandangan tentang arah atau tujuan (directedness), yaitu bahwa tingkah laku manusia tidak hanya disebabkan oleh sesuatu, tetapi juga menuju ke arah sesuatu, atau mengarah pada suatu tujuan, atau bahwa manusia pada hakikatnya ingin menuju sesuatu. Ketiga, konsep tentang motivasi (motivation), yang melatarbelakangi tingkah laku, yang dikenal juga sebagai suatu desakan atau keinginan (want) atau kebutuhan (need) atau suatu dorongan (drive).
3. Tujuan. Unsur ketiga dari lingkaran motivasi adalah tujuan yang berfungsi untuk memotivasikan tingkah laku. Tujuan juga menentukan seberapa aktif individu akan bertingkah laku. Sebab, selain ditentukan oleh motif dasar, tingkah laku juga ditentukan oleh keadaan dari tujuan. Jika tujuannya menarik, individu akan lebih aktif bertingkah laku. Pada dasarnya, tingkah laku manusia itu bersifat majemuk karena itu tujuan tingkah laku acap kali tidak hanya satu, yaitu tujuan pokok (primary goal) dan tujuan sekunder (secondary goal).
Related Article: